Kamis, 06 Desember 2012

KESEHATAN MENTAL

Kesehatan Mental (Hygiene Mental) I. Pendahuluan Beberapa tingkah laku masyarakat yang beraneka ragam mendorong para ahli Ilmu Psikologi untuk menyelidiki apa penyebab perbedaan tingkah laku orang-orang dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, juga menyelidiki penyebab seseorang tidak mampu memperoleh ketenangan dan kebahagiaan dalam kehidupannya. Usaha ini kemudian melahirkan satu cabang termuda dari ilmu Psikologi, yaitu Kesehatan mental (Mental Hygiene) (Yusak Burhanuddin, 1999: 10). Kesehatan mental, sebagai disiplin ilmu yang merupakan bagian dari psikologi agama, terus berkembang dengan pesat. Hal ini tidak terlepas dari masyarakat yang selalu membutuhkan solusi-solusi dari berbagai problema kehidupan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi belum mampu memenuhi kebutuhan ruhani, bahkan menambah permasalahan-permasalahan baru, seperti kecemasan dengan kemewahan hidup. Akibat lain adalah rasionalitas teknologi lebih diutamakan sehingga nilai kemanusiaan diabaikan. Demikian ungkap Sayyid Husain Nasr. Pada bagian lain, berbagai persoalan hidup yang melanda bangsa Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan krisis multi dimensi di berbagai pelosok nusantara. Belum tuntas permasalahan ekonomi, muncul konflik berbau Sara, baru saja meredam pertikaian tersebut, bangsa kita dilanda berbagai bencana, semakin memperbukuk kondisi mental bangsa ini. Menurut Sururin persoalan kesehatan mental perlu perhatian serius semenjak adanya asumsi bahwa 2% bangsa Indonesia terganggu jiwanya. Di samping itu, adanya perhatian manusia yang besar terhadap kesejahteraan hidupnya, serta adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya dilakukan pembinaan kesejahteraan hidup bersama ikut mempercepat perkembangan ilmu kesehatan mental. II. Kesehatan Mental A. Pengertian Secara Etimologis dan Terminologis Secara etimologis, kata “mental” berasal dari kata latin, yaitu “mens” atau “mentis” artinya roh, sukma, jiwa, atau nyawa. Di dalam bahasa Yunani, kesehatan terkandung dalam kata hygiene, yang berarti ilmu kesehatan. Maka kesehatan mental merupakan bagian dari hygiene mental (ilmu kesehatan mental) (Yusak Burhanuddin, 1999: 9). Menurut Kartini Kartono dan Jenny Andary dalam Yusak (1999: 9-10), ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental/jiwa, yang bertujuan mencegah timbulnya gangguan/penyakit mental dan gangguan emosi, dan berusaha mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental, serta memajukan kesehatan jiwa rakyat. Sebagaimana seorang dokter harus mengetahui faktor-faktor penyebab dan gejala-gejala penyakit yang diderita pasiennya. Sehingga memudahkan dokter untuk mendeteksi penyakit dan menentukan obat yang tepat. Definisi mereka berdua menunjukan bahwa kondisi mental yang sakit pada masyarakat dapat disembuhkan apabila mengetahui terlebih dulu hal-hal yang mempengaruhi kesehatan mental tersebut melalui pendekatan hygiene mental. Dalam perjalanan sejarahnya, pengertian kesehatan mental mengalami perkembangan sebagai berikut : b. Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa (neurosis dan psikosis). Pengertian ini terelihat sempit, karena yang dimaksud dengan orang yang sehat mentalnya adalah mereka yang tidak terganggu dan berpenyakit jiwanya. Namun demikian, pengertian ini banyak mendapat sambutan dari kalangan psikiatri (Sururin,2004: 142) Kembali pada istilah neorosis, pada awalnya kata tersebut berarti ketidakberesan dalam susunan syaraf. Namun, setelah para ahli penyakit dan ahli psikologi menyadari bahwa ketidakberesan tingkah laku tersebut tidak hanya disebabkan oleh ketidakberesan susunan syaraf, tetapi juga dipengaruhi oleh sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain, maka aspek mental (psikologi) dimasukkan pula dalam istilah tersebut. c. Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup. Pengertian ini lebih luas dan umum, karena telah dihubungkan dengan kehidupan sosial secara menyeluruh. Dengan kemampuan penyesuaian diri, diharapkan akan menimbulkan ketentraman dan kebahagiaan hidup. d. Terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk mengatasi problem yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). e. Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan potensi, bakat dan pembawaan semaksimal mungkin, sehingga membawa kebahagiaan diri dan orang lain, terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa. Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang sehat mentalnya adalah orang yang terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa, maupun menyesuaikan diri, sanggup menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan yang bias, adanya keserasian fungsi jiwa, dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna, dan berbahagia serta dapat menggunakan potensi-potensi yang ada semaksimal mungkin (Sururin,2004: 144). Kesehatan mental (mental hygiens) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani (M. Buchori dalam Jalaluddin,2004: 154) Menurut H.C. Witherington, kesehatan mental meliputi pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat lapangan Psikologi, kedokteran, Psikiatri, Biologi, Sosiologi, dan Agama (M. Buchori dalam Jalaluddin,2004: 154) Kesehatan Mental merupakan kondisi kejiwaan manusia yang harmonis. Seseorang yang memiliki jiwa yang sehat apabila perasaan, pikiran, maupun fisiknya juga sehat. Jiwa (mental) yang sehat keselarasan kondisi fisik dan psikis seseorang akan terjaga. Ia tidak akan mengalami kegoncangan, kekacauan jiwa (stres), frustasi, atau penyakit-penyakit kejiwaan lainnya. Dengan kata lain orang yang memiliki kesehatan mental juga memiliki kecerdasan baik secara intelektual, emosional, maupun spiritualnya. B. Pengertian Jiwa (mental) Sebagai Objek Kajian Kesehatan Mental Di dalam Ensiklopedia Indonesia, Hassan Shadily dkk. (1992: 2787) menulis bahwa kata “Jiwa” berasal dari kata “Psyche” yang berarti jiwa, pikiran, hidup. Dalam agama, jiwa merupakan sebagian dari kerohanian manusia, dalam arti kesanggupan merasakan sesuatu. Suatu makhluk baru dikatakan berjiwa, jika sanggup mengalami, merasa, berkemauan, dan sebagainya (Hassan Shadily dkk.,1991: 1597). Jiwa adalah energi mental yang memiliki kekuatan untuk dapat memotivasi terjadinya proses perilaku yang menjadi bentukan aktivitas yang dilakukan sehari-hari. (http://id.wikipedia.org/wiki/Jiwa) Demikianlah pengertian jiwa (mental) secara umum. Di dalam memahami jiwa ini, penulis teringat dengan unsur-unsur pada struktur jiwa manusia menurut Sigmund Freud, yakni id, ego,dan super ego (Abdul Mujib,1999: 99). Dan yang menarik adalah unsur ego dan super ego. Dikatakan demikian karena keduanya dapat dihubungkan dengan jiwa (mental). Ego dikenal sebagai eksekutif kepribadian (pengontrol tindakan) yang bersifat rasional-logis. Sedangkan Super ego berperan dalam penentuan nilai moral suatu tindakan. Lantas, dimanakah letak hubungannya dengan jiwa?, penulis memahami bahwa jiwa (mental) cukup rawan mengalami kegoncangan atau ketidakstabilan. Maka dari itu, jiwa (mental) sangat memerlukan pondasi atau pegangan yang mampu mengokohkannya bahkan menjadikannya sebagai jiwa yang sehat. Ego dan super ego sangat berpotensi untuk menjadi penopang dan pendorong jiwa (mental) ke arah demikian. Di dalam mengkaji dan memahami Ilmu Kesehatan Mental, jiwa (mental) yang dijadikan objek kajian ilmu ini tidaklah cukup diartikan sebagai kondisi kejiwaan manusia yang dikaji dari kesehatan pada jaringan syaraf otak atau secara fisik saja. Sehingga jika salah satu simpul saraf otak rusak seseorang akan menderita kelainan jiwa (gila). Sedangkan tidak semua tingkatan gangguan kejiwaan manusia berakibat gila. Sementara pengertian sakit jiwa adalah kondisi kejiwaan seseorang yang tidak mampu mengaktualkan tiga potensi dalam dirinya yaitu adaptasi, regulasi dan interaksi.(http://www.waspada.co.id) Maka dari itu, jiwa (mental) dalam hal ini adalah pusat kepribadian manusia yang memiliki kepekaan dalam berinteraksi dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungan di luar dirinya untuk menentukan sikap yang baik dan benar. Ary Ginanjar Agustian (2002: 65), menggambarkan kondisi mental yang ideal didasari dari “penjernihan emosi” sehingga memunculkan kecerdasan emosi dan spiritual (Emotional Spiritual Quotient). Hal tersebut menunjukkan begitu penting penatatan potensi emosi spiritual pada masing-masing individu yang berpusat pada sumber spiritual manusia, yaitu Tuhan. Dengan demikian seseorang akan terbimbing dengan kesadaran pribadi mengenali energi jiwanya guna meraih ketenangan atau keharmonisan diri. Melalui pengkajian jiwa (mental) dirinya sendiri, manusia mampu membimbing dirinya untuk mencintai diri sendiri. Secara fitrah manusia tidak mau dirinya bobrok dan kacau. Apalagi dirinya disakiti dan merasa ditindas. Semua orang yang bermental sehat hidup di dunia menginginkan ketenangan dan kebahagiaan diri bukan sebaliknya. Wajar jika manusia akan membela diri ketika ada hal-hal yang dapat membahayakan dirinya. C. Pengertian Jiwa (mental) yang Sehat Seorang ahli bijak pernah berkata: ”Kesehatan itu mahkota, tak bisa merasakannya kecuali orang sakit.” Nikmat sehat memang menjadi sangat mahal. Apalah artinya bergelimang kekayaan, rumah mewah dengan jabatan dan kekuasaan yang tinggi serta anak-anak yang tampan bila tidak disertai nikmat kesehatan. Karena itulah, semua manusia berlomba untuk mendapatkan nikmat sehat (www.republika.com) Di dalam hadis-hadisnya, Rasulullah Saw. menjelaskan kesehatan dan kestabilan jiwa (mental) seseorang memiliki beberapa indikasi antara lain adanya rasa aman. Ini disebutkan dalam sabdanya: ”Siapa yang menyongsong pagi hari dengan perasaan aman terhadap lingkungan sekitar, kondisi tubuh yang sehat, serta adanya persediaan makanan untuk hari itu, maka seakan-akan dia telah memperoleh seluruh kenikmatan dunia.” (HR Tirmidzi). Pada umumnya pribadi yang normal memiliki mental yang sehat. Demikian sebaliknya, bagi yang pribadinya abnormal cenderung memiliki mental yang tidak sehat (Yusak Baharuddin, 1999: 13). Orang yang bermental sehat adalah mereka yang memiliki ketenangan batin dan kesegaran jasmani. Untuk memahami jiwa yang sehat, dapat diketahui dari beberapa ciri seseorang yang memiliki mental yang sehat. Dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1959 memberikan batasan mental yang sehat adalah sebagai berikut : 1. Dapat menyesuaikan diri secara konstuktif pada kenyataan meskipun kenyataan itu buruk banginya. 2. Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya. 3. Merasa lebih puas memberi dari pada menerima. 4. Secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas. 5. Berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling memuaskan. 6. Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran dikemudian hari. 7. Menjuruskan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif. 8. Mempunyai rasa kasih sayang yang besar. Kriteria tersebut disempurnakan dengan menambahkan satu elemen spiritual (agama). Sehingga kesehatan mental ini bukan sehat dari segi fisik, psikologik, dan sosial saja, melainkan juga sehat dalam art spiritual. Dan tidak kalah pentingnya adalah mengetahui sekaligus memahami prinsip-prinsip dari kesehatan mental itu. Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip kesehatan mental adalah dasar yang harus ditegakkan orang dalam dirinya untuk mendapatkan kesehatan mental yang baik serta terhindar dari gangguan kejiwaan. Prinsip-prinsip tersebut adalah: 1. Gambaran dan sikap yang baik terhadap diri sendiri (self image) Prinsip ini dapat dicapai dengan penerimaan diri, keyakinan diri dan kepercayaan pada diri sendiri. Citra diri positif akan mewarnai pola hidup, sikap, cara pikir dan corak penghayatan, serta ragam perbuatan yang positif pula. 2. Keterpaduan antara Integrasi Diri. Adanya keseimbangan antara kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri, kesatuan pandangan (falsafah) dalam hidup dan kesanggupan mengatasi stres (Sururin,2004: 146). 3. Perwujudan Diri (aktualisasi diri) Inilah proses pematangan diri. Menurut Reiff, orang yang sehat mentalnya adalah orang yang mampu mengaktualisasikan diri atau mampu mewujudkan potensi yang dimilikinya, serta memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan cara yang baik dan memuaskan. 4. Mau menerima orang lain, mampu melakukan aktifitas sosial dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggal. 5. Berminat dalam tugas dan pekerjaan Suka pada pekerjaan tertentu walaupun berat maka akan mudah dilakukan dibandingkan dengan pekerjaan yang kurang diminati. 6. Agama, cita-cita, dan falsafah hidup. Demi menggapai ketenangan dan kebahagiaan dalam kehidupan. 7. Pengawasan diri Hal ini dapat dilakukan terhadap keinginan-keinginan dari ego yang bersifat biologis murni. Sehingga dapat dikendalikan secara sehat dan terarah. 8. Rasa benar dan tanggung jawab. Ini penting bagi tingkah laku.Dengan demikian muncul rasa percaya diri dan bertanggung jawab penuh atas segala tindakan sehingga tidak menutup kemungkinan kesuksesan diri akan diraih. III. PENUTUP Kesimpulan Setelah dipaparkan beberapa pengertian seputar kesehatan mental, dapat diketahui bersama bahwa sebenarnya kesehatan mental selain sebagai salah satu cabang ilmu Psikologi termuda, juga berfungsi sebagai alat solusi dari beragam permasalahan kesehatan kejiwaan pada masyarakat. Melalui pendekatan Mental Hygiene inilah penyakit jiwa (mental) dapat terdeteksi dan ada harapan untuk disembuhkan. Sedangkan menurut definisi umum, kesehatan mental adalah kondisi kejiwaan manusia yang harmonis yang memungkinkan perkembangan fisik, mental dan intelektual yang optimal dari seseorang serta perkembangan tersebut berjalan selaras dengan orang lain. Kesehatan jiwa juga merupakan perasaan sehat dan berbahagia mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya dan mempunyai sikap positip terhadp diri sendiri dan orang lain. Ciri-ciri sehat jiwa yakni menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya, mampu menghadapi stress kehidupan yang wajar, dapat berperan serta dalam lingkungan hidupnya, menerima baik yang ada pada dirinya dan mampu bekerja produktif dan memenuhi kebutuhan hidupnya serta merasa nyaman bersama orang lain.


 
TEORI MASLOW!!!
steps of life
Teori hirarki kebutuhan Maslow jadi teori paling ngetop kalo udah ngebahas kebutuhan manusia. Kalo dari segi psikologi, Maslow adalah tokoh psikologi Humanistik yang sangat menekankan keunikan individu dan prinsip holistik. Bahwa ada bagian-bagian dari individu yang tidak bisa digeneralisasi dan setiap individu harus dihargai sesuai keunikannya itu.
Segitiga maslow ini nunjukkin perkembangan kebutuhan manusia selama hidupnya.
1. Physiological needs, ini adalah tahap kebutuhan paling dasar dari individu dan justru jadi bagian paling besar, karena kalo kebutuhan ini gak tercapai, kebutuhan yang diatasnya gak kan pernah tercapai. Disini menjelaskan tentang kebutuhan individu akan makan, minum, sandang, papan,seks dan kebutuhan fisiologis lainnya.
2. Safety Needs, disini individu membutuhkan rasa aman dan mencari tempat yang bisa menyediakan rasa aman dari bahaya yang megancam nyawanya. (org dalam kondisi perang, berarti kebutuhan safetynya gak tercapai)
3. Belonging & Love Needs, pada tahap ini inidividu membutuhkan kasih sayang dari orang lain, butuh berhubungan dengan orang lain dan merasa diterima oleh lingkungan.
4. Esteem Needs , disini individu merasa butuh meraih sesuatu, membuat suatu prestasi, menjadi unsur yang kompeten di lingkungan, mendapatkan pengakuan dan mengenal lingkungan dengan baik.
Dulu, Maslow memasukkan tingkat ke 5 sebagai aktualisasi diri. Namun menurut perkembangan terbaru, Maslow mengembangkan tingkat ke 5 jadi beberapa tingkat lagi.
1. Cognitive Needs, dimana di tingkat ini manusia butuh mengetahui, memahami dan meng-explore apa2 yang ada di lingkungannya.
2. Aesthetic Needs, di tingkat ini manusia mulai butuh dengan unsur-unsur estetis seperti simetris, keurutan, keindahan, kecantikan, dll.
3. Self actualization, di tahap ini manusia sudah merasa puas dengan kemampuan dalam dirinya, merasa hidup sudah berjalan dengan sinergis, dan mengenali potensi yang ada dalam dirinya.
4. Self trancedense, di tahap ini manusia sudah mencapai sesuatu yang bisa mengalahkan egonya sehingga termotivasi untuk membantu orang lain meraih self fullfillment dan menyadari potensinya masing-masing..
Menurut Maslow, semakin individu naik kepad tingkat kebutuhan yang lebih atas, maka dia akan lebih bijak menghadapi dirinya sendiri dan hidupnya. Karena kebutuhan yang lebih tinggi tidak akan tercapai kalo kebutuhan yang lebih dasar belum tercapai.
5 Mei 2006, 19 tahun sudah aku hidup di dunia. Dan melalui berkali kali perenungan ttg apa yg sebenarnya kucari selama kurun waktu itu, teori Maslow ini menjelaskannya padaku.
19 tahun sudah aku hidup dan selama itu juga aku hanya bergerak di tingkat tiga kebutuhan manusia. Yah love and belonging needs. Sesekali aku ada di tahap self esteem, tapi aku sadar kali ini kalo hampir sebagian besar waktuku, aku hanya mencari apa2 yg ada di tahap love and belonging ini. God!! really still far away dari bentuk ideal seharusnya manusia dengan bijak menghadapi hidup.
Karya Maslow
Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Adapun hirarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Kebutuhan fisiologis/ dasar : makan, tidur, nafas, buang air
  2. Kebutuhan akan rasa aman dan tentram : bebas dari jajahan, bebas dari teror
  3. Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi : punya temen, punya keluarga, punya pasangan.
  4. Kebutuhan untuk dihargai : dapet pujian, penghargaan, hadiah.
  5. Kebutuhan untuk aktualisasi diri : berbuat semau gw terserah gw.


  1. Fisik.
    Ini kebutuhan dasar. Kebutuhan utamanya adalah traffic. Entah untuk membaca tulisan mereka, atau untuk meng-klik iklan-iklan yang mereka pajang.
    Blogger di tingkat ini melakukan apapun demi traffic.
  2. Keamanan.
    Biasanya, setelah kebutuhan awal terpenuhi, blogger akan mulai membutuhkan jaminan keamanan bagi blognya. Misalnya hosting yang bisa diandalkan, tidak sering down, juga tidak asal suspend semena-mena hanya karena TOSnya dilanggar. Termasuk juga anti spam yang cerdas, kalau bisa yang ajaib, sehingga bisa bekerja membantai spam tanpa memicu permusuhan dengan pihak manapun.
    Blogger di tingkat ini menulis dengan cara aman. Biasanya tak berani berpendapat. Persetan dengan dunia, yang penting dirinya aman dan nyaman.
  3. Cinta/Rasa diterima/Sosial
    Setelah kebutuhan fisik dan rasa aman terpenuhi, blogger mulai butuh pertemanan. Blogroll mereka mulai jadi terlalu panjang. Blogger juga akan membentuk kelompok-kelompok. Misalnya yang doyan pasang iklan, biasanya begerombol dengan sesama penyuka iklan. Akhirnya akan terbentuk kelompok-kelompok seberti komunitas blogger tukang iklan, blogger mesum, blogger laknat, blogger jenggotan, blogger penganjingan dan lain sebagainya. Blogger akan membutuhkan dan masuk ke dalam kelompok dimana mereka merasa diterima dan disayang.
  4. Harga diri
    Disini blogger mulai membutuhkan harga diri. Kang Maslow membagi tingkat ini menjadi dua. Yang pertama adalah ‘ketenaran’, ‘pengakuan’, dan ‘ingin kelihatan hebat’. Yang kedua adalah ‘rasa percaya diri’, ‘kompetensi’ dan ‘pencapaian’.
    Kebutuhan akan ketenaran, pengakuan dan rasa hebat ini dianggap lebih rendah, karena keberadaannya tergantung pada pengakuan orang. Berada pada tingkat ini, blogger bisa melakukan apa saja demi tujuannya, mulai dari tebar sOOT (out of topic) sampai membajak karya orang lain.
    Sedangkan keberadaan ‘percaya diri’, ‘kompetensi’, dan ‘pencapaian’ tidak memerlukan pihak lain. Blogger di level ini biasanya narsis, najis, dan suka katarsis sendiri. Mereka tak peduli traffic, tak peduli apakah ada yang baca, atau malah menghujat, bagi mereka yang penting adalah memuntahkan isi kepalanya ke dalam wujud tulisan.
  5. Aktualisasi diri
    Jarang sekali yang berada di level 5 ini. Di level ini seorang blogger benar-benar menjadi kreatif, memaksimalkan semua potensi mereka. Punya visi. Dan mereka suka mencari solusi dari berbagai masalah, termasuk masalah orang lain.
    Di level ini blogger ngeblog bukan hanya sekedar untuk fun, gawul, katarsis atau cari duwit. Melalui tulisannya, mereka ngeblog untuk mengubah bangsa, membuat dunia jadi lebih baik. Sayang, selain jumlah mereka sedikit, minoritas berkelakuan aneh ini malah sering di beri cap sok idealis dan munafik sejati.segitiga maslow

Tidak ada komentar: